“PULANG” (CERPEN)

Di tengah ladang gandum yang luas, terdapat sebuah rumah kecil yang berdiri teguh di atas tanah yang subur. Di dalamnya, hidup seorang petani tua bernama Pak Joko. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Pak Joko sudah sibuk berkegiatan di kebunnya. Dia mencintai tanahnya dengan sepenuh hati, merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Namun, satu hal yang selalu membuat hati Pak Joko merasa hampa adalah ketiadaan anak dan cucu. Ia dan istrinya telah berusaha sekuat tenaga, namun takdir berkata lain. Mereka tidak diberkahi dengan keturunan.

Suatu hari, ketika matahari terbenam dan langit mulai berubah warna, Pak Joko duduk di teras rumahnya, memandangi langit yang kini dipenuhi dengan gemerlap bintang. Dia merasa kesepian dan bertanya-tanya mengapa takdir tidak memihak kepadanya.

Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari balik semak belukar di dekat rumah. Pak Joko yang penasaran segera berjalan mendekat dan menemukan seorang anak kecil yang terluka.

“Dari mana kamu, Nak?” tanya Pak Joko dengan lembut. Anak kecil itu menatap Pak Joko dengan mata sayu, “Saya tersesat, Pak. Saya tidak tahu jalan pulang.”

Pak Joko tersenyum lembut, “Jangan khawatir, Nak. Ayo, saya akan membawamu pulang.”

Dengan penuh kasih sayang, Pak Joko membawa anak kecil itu ke rumahnya. Istrinya dengan hangat menyambut mereka berdua. Mereka memberikan makanan dan minuman untuk anak kecil tersebut, serta merawat lukanya dengan hati-hati.

Semakin malam, semakin nyaman hati Pak Joko. Di sekelilingnya kini ada anak yang butuh kasih sayang, sesuatu yang selama ini dia rindukan. Meskipun anak kecil tersebut bukanlah anak kandungnya, namun kehadirannya membawa kebahagiaan yang tak ternilai.

Setelah sembuh, anak kecil itu bercerita tentang kehidupannya yang sulit dan keluarganya yang terpisah karena perang. Pak Joko dan istrinya merasa sedih mendengarnya.

“Kamu boleh tinggal bersama kami, Nak,” kata Pak Joko dengan tulus, “Kami akan menjadi keluargamu.”

Mata anak kecil itu berbinar-binar, “Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu.”
Dari hari itu, rumah Pak Joko menjadi penuh canda tawa. Anak kecil itu, yang diberi nama Budi, tumbuh bahagia di bawah sayap perlindungan mereka. Pak Joko dan istrinya mendapat kebahagiaan yang mereka cari selama ini, bukan dari keturunan darah daging, tapi dari kasih sayang dan kebaikan hati yang mereka berikan kepada anak yang membutuhkan. Dan di bawah langit yang sama, mereka membuktikan bahwa keluarga tidak selalu harus berdasarkan darah, tetapi lebih pada ikatan kasih sayang dan kepedulian yang tulus.