Di hutan yang subur dan rimbun, hiduplah sekelompok hewan yang harmonis dan damai. Di antara mereka, ada seekor kancil muda yang lincah dan cerdik. Namanya adalah Kancil. Dia terkenal di hutan karena kecerdasannya, tetapi terkadang kecerdikannya diwarnai dengan keusilannya.
Suatu hari, Kancil memutuskan untuk bermain lelucon kepada teman-temannya. Dia mengumpulkan daun kering dan ranting-ranting, lalu menyusunnya sedemikian rupa sehingga menyerupai ular besar yang menakutkan. Setelah selesai, dengan tertawa-tawa, dia menempatkan “ular” tiruannya di tengah jalan yang sering dilalui oleh hewan-hewan lain.
Teman-teman Kancil yang lain terkejut melihat “ular” itu. Mereka menjadi panik dan berlarian menjauh. Kancil yang melihat reaksi mereka merasa senang dengan leluconnya yang berhasil. Namun, ketika dia sedang asyik menertawakan reaksi teman-temannya, datanglah seekor burung hantu tua yang bijaksana.
Burung hantu itu melihat “ular” tiruan Kancil dengan tatapan bijaknya. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Kancil, kecerdikanmu patut diapresiasi, tetapi ingatlah bahwa kecerdikan yang dipakai untuk menakuti dan membuat orang lain panik tidaklah baik. Hal itu hanya akan menyebabkan ketakutan dan kekacauan di hutan ini.”
Kancil merasa malu mendengar nasihat burung hantu itu. Dia menyadari bahwa leluconnya tidaklah lucu dan hanya menimbulkan ketakutan pada teman-temannya. Dari kejadian itu, Kancil belajar bahwa kecerdikan seharusnya digunakan untuk hal-hal yang positif dan membangun, bukan untuk hal-hal yang menyakiti atau menakuti orang lain.
Sejak saat itu, Kancil berjanji untuk menggunakan kecerdasannya dengan bijak dan bertanggung jawab. Dia menjadi lebih berhati-hati dalam tindakannya dan selalu memikirkan dampaknya terhadap orang lain. Dengan demikian, kecerdikan Kancil menjadi sebuah alat yang bermanfaat bagi kebaikan dan kedamaian di hutan mereka.