Peneliti University of Southern California (USC) menciptakan perangkat murah untuk bantu siswa SMA dan mahasiswa membuat robot AI teman belajar sendiri. Siswa juga bisa memprogram robot tersebut belajar etika dan keadilan AI.
Dilansir dari Detik.com, Mahasiswa doktoral bidang ilmu komputer USC Zhonghao Shi mengatakan model open source (sumber terbuka) hasil penelitian timnya diharapkan membuka akses pendidikan AI untuk semua siswa.
Model tersebut juga diharapkan bantu penelitian interaksi manusia lebih terjangkau untuk laboratorium dan lembaga penelitian.
“Kami ingin meningkatkan akses pendidikan kecerdasan buatan (AI) yang berpusat pada manusia bagi mahasiswa dan menciptakan jalur menuju penelitian yang lebih mudah diakses,” kata Shi, penulis utama studi, dikutip dari Science Daily.
“Kami percaya, penting bagi siswa untuk belajar tentang keadilan dan etika dalam AI dengan cara yang sama seperti yang kita pelajari tentang matematika dan fisika di TK hingga kelas 12,” sambungnya.
Untuk mengurangi biaya dan waktu pengembangan robot teman belajar bagi siswa dan mahasiswa, tim peneliti menyederhanakan dan menyesuaikan Blossom. Robot kecil open source tersebut buatan Guy Hoffman, Michael Suguitan, dan rekan-rekan dari Cornell University dan Google.
Blossom semula digunakan di Lab Interaksi USC antara lain dalam merancang suara AI yang lebih baik untuk latihan kesadaran. Robot ini juga sebelumnya diprogram untuk jadi teman belajar bagi siswa dengan gejala attention deficit hyperactivity disorder (ADHD).
Dengan Blossom, para peneliti pada 2023 membuat modul yang murah dan dapat dipersonalisasi. Modul pembelajaran open source ini terdiri dari tiga bagian.
Siswa bisa belajar langsung dengan panduan dan instruksi pengantar soal aspek-aspek AI seperti robotika, pembelajaran mesin, rekayasa perangkat lunak, dan teknik mesin.
Relatif Murah
Dengan modul terbaru, tim peneliti berhasil membuat robot dengan biaya sekitar USD 250 (Rp 3,89 juta). Angka ini jauh lebih murah dari robot pendidikan NAO, yang mencapai USD 15 ribu (Rp 233 juta).
Peneliti Shi dan Allison O’Connel berpendapat, biaya robot AI yang dapat dihasilkan dari modul AI open source tersebut relatif terjangkau untuk sekolah dengan sumber daya terbatas.
Menurutnya, robot Blossom modifikasi juga dapat digunakan untuk siswa di semua jenjang ketimbang LEGO Mindstorm.
Robot Blossom bermodul terbaru versi peneliti memiliki tampilan luar berbahan tekstil. O’Connell yang belajar merajut sepanjang pandemi lalu membuat pola dan tutorial ‘kulit’ dan ‘baju’ Blossom. Ada lima versi baru tampilan Blossom yang bisa dicoba siswa, mulai dari onesie bayi sampai rajutan.
Opsi tekstil sebagai visual Blossom memangkas biaya eksterior robot. Peneliti juga menyiasati biaya cetak laser robot dengan memakai alternatif cetak 3D.
Merangkul Siswa Kreatif
Siswa pun diajak mempersonalisasikan robot Blossom lebih jauh. Alis, lampu warna-warni, dan layar wajahnya juga bisa disesuaikan. Robot pun bisa diprogram untuk meniru pose kepala seseorang.
“Kerajinan dan rekayasa butuh kekuatan seperti halnya penghitungan, perencanaan, dan penalaran spesial. Dengan memasukkan kerajinan tangan ke proyek ini, kami berharap bisa menarik siswa kreatif yang mungkin tidak menyangka bagaimana keterampilan mereka bisa selaras dengan robotika dan teknik,” kata O’Connell.
Saat lokakarya modul robot AI, empat tim pelajar membuat robot Blossom dengan panduan perakitan modul pembelajaran. Eksteriornya berupa rajutan yang dapat ditambahkan aksesori personal.
Di lokakarya hari kedua, para pelajar menggunakan model pelacakan pose kepala dan pengenalan gerak. Robotnya jadi bisa mendeteksi dan meniru perilaku mengangguk para pengguna.
Pembelajaran AI untuk Semua Anak
Shi berpendapat, bekal literasi AI termasuk soal keadilan dan etika AI mendukung kelompok marginal agar tidak terdiskriminasi dalam pendidikan kecerdasan buatan. Survei pascalokakarya mendapati 92 persen pelajar percaya pengalamannya akan mendorong mereka belajar lebih lanjut soal robotika dan AI.
Tim peneliti kini berencana menyempurnakan modul untuk siswa SMA dan siswa TK hingga kelas 12. Harapannya, makin banyak anak yang bisa mengakses pendidikan AI dari semua jenjang kelas sekolah.
“Kami ingin memastikan orang-orang dari berbagai latar belakang sosial ekonomi punya kesempatan belajar AI dan berpartisipasi dalam peningkatan AI ke depannya,” pungkas Shi.