Saat ini, saya berada di kelas 3 SMP, dan setiap harinyadihabiskan bersama dengan tiga sahabat akrab saya: Lutfi,Akmal dan Ana. Kami telah bersahabat sejak masa kecil kami. Pada suatu waktu, kami membuat sebuah perjanjian persahabatandengan menuliskannya di selembar kertas yang kami masukkan kedalam sebuah botol, lalu mengubur botol itu di bawah pohon. Kesepakatan ini kami rencanakan untuk dibuka kembali saat kami menerima hasil ujian kelulusan. Hari yang kami nantikan akhirnya tiba, ketika kami menerima hasilujian, dan semua dari kami berempat berhasil lulus. Tanpa ragu, kami berempat segera pergi ke bawah pohon tempatkami mengubur botol itu dan menggali untuk menemukan botoltersebut. Ketika kami membuka botol tersebut, isinya adalah pesanyang kami tulis dulu: “Kami berjanji untuk selalu bersamaselamanya.” Keesokan harinya, Lutfi merencanakan sebuah perayaan kelulusanyang spesial. Malamnya, kami berempat pergi ke suatu tempat, dandi sana, aku mengalami momen yang tak terlupakan karena Lutfiakhirnya mengungkapkan perasaannya kepadaku, dan kami berduamenjadi pasangan. Hal yang sama terjadi dengan Akmal dan Lutfi. Malam itu menjadisaat yang istimewa bagi kami berempat, dan kami bersiap untukpulang. Tetapi, dalam perjalanan pulang, aku merasa gelisah. Aku mencobamembagi perasaanku dengan yang lain, mengatakan bahwa akumerasa tidak enak. Akmal mencoba meyakinkanku, “Tenang saja, Fi tidak ada yang akan terjadi. Kita akan baik-baik saja.” Namun, ketika kami melihat sebuah truk mendekati kami di jalan, Nindi melihat bahaya. Dia berteriak, “Lutfi, hati-hati! Di depan adatruk!” Ketika itu, terjadilah kecelakaan. Mobil kami masuk ke dalamjurang. Aku tidak bisa menghentikan air mata yang terus mengalir, dan akhirnya aku kehilangan kesadaran. Lalu, aku membuka mataku perlahan dan melihat ibuku berada di sampingku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanya ibu dengan suara sedih. Aku bertanya, “Di mana aku, Ibu? Di mana Ana, Lutfi danAkmal?” Ibu menjawab dengan suara terisak, “Kamu di rumah sakit, Nak. Sayangnya, Andri dan Aris tidak bisa diselamatkan di lokasikecelakaan.” Aku terdiam mendengar kabar itu, dan air mata tak henti-hentinyamengalir. Hatiku hancur saat aku berpikir tentang Aris. “Lutfi, mengapa kamu meninggalkanku begitu cepat? Aku sangatmencintaimu, dan kamu pergi meninggalkanku,” pikirku denganpenuh kepedihan. Dua hari kemudian, aku pergi ke makam mereka, berharap bahwakita bisa bersama sampai tua. Tapi kini semua itu hanya menjadikenangan. Aku berjanji untuk selalu mengenang mere